Pelaksanaan demokrasi liberal sesuai dengan konstitusi yang berlaku saat
itu, yakni Undang Undang Dasar Sementara 1950. Kondisi ini bahkan sudah
dirintis sejak dikeluarkannya maklumat pemerintah tanggal 16 Oktober 1945 dan
maklumat tanggal 3 November 1945, tetapi kemudian terbukti bahwa demokrasi
liberal atau parlementer yang meniru sistem Eropa Barat kurang sesuai
diterapkan di Indonesia. Tahun 1950 sampai 1959 merupakan masa berkiprahnya
parta-partai politik. Dua partai terkuat pada masa itu (PNI & Masyumi)
silih berganti memimpin kabinet. Sering bergantinya kabinet sering menimbulkan
ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Ciri-ciri
demokrasi liberal adalah sebagai berikut :
1. Presiden dan Wakil Presiden tidak
dapat diganggu gugat
2. Menteri bertanggung jawab atas
kebijakan pemerintah
3. Presiden bisa dan berhak berhak
membubarkan DPR
4. Perdana Menteri diangkat oleh
Presiden
POLITIK
v Kabinet masa demokrasi
liberal
KABINET NATSIR (6 September
1950 – 21 Maret 1951)
Setelah bentuk negara RIS dibubarkan,
kabinet pertama yang membentuk NKRI adalah kabinet Natsir yang merupakan
kabinet koalisi yang dipimpin oleh Masyumi dan PNI sebagai partai kedua
terbesar menjadi oposisi. PNI menolak ikut serta dalam komite karena merasa
tidak diberi kedudukan yang tepat sesuai dengan kekuatannya.
Tokoh-tokoh terkenal yang mendukung
kabinet ini adalah Sri Sultan HB IX, Mr. Asaat, Mr. Moh Roem, Ir Djuanda dan
Dr. Sumitro Djojohadikusuma.
Dipimpin
Oleh : Muhammad Natsir
Program
:
1.
Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
2.
Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
3.
Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
4.
Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
5.
Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Hasil
:
Berlangsung
perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah
Irian Barat.
Kendala/
Masalah yang dihadapi :
-
Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu
(kegagalan).
- Timbul
masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh
wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA,
Gerakan RMS.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan
Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan
pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi
tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir harus mengembalikan mandatnya
kepada Presiden.
KABINET SUKIMAN (27
April 1951 – 3 April 1952)
Merupakan kabinet koalisi antara
Masyumi dan PNI.
Dipimpin Oleh: Sukiman Wiryosanjoyo
Program :
1. Menjamin keamanan dan ketentraman
2. Mengusahakan kemakmuran rakyat
dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.
3. Mempercepat persiapan pemilihan
umum.
4. Menjalankan politik luar negeri
secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
Hasil
:
Tidak terlalu berarti sebab
programnya melanjtkan program Natsir hanya saja terjadi perubahan skala
prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program Menggiatkan
usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin
keamanan dan ketentraman
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
·
Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar
Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran.
Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada
Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). Dimana
dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI
diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika.
Tindakan
Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang
bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan
Indonesia ke dalam blok barat.
·
Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi
pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
·
Masalah Irian barat belum juga teratasi.
·
Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak dengan kurang
tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa
Tengah, Sulawesi Selatan.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Muncul
pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman sehingga mereka menarik
dukungannya pada kabinet tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa
Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada presiden.
KABINET WILOPO (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu
kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam biangnya.
Dipimpin Oleh : Mr. Wilopo
Program :
1. Program dalam negeri
: Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR,
dan DPRD), meningkatkan kemakmuran rakyat, meningkatkan pendidikan rakyat, dan
pemulihan keamanan.
2. Program luar negeri :
Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda, Pengembalian Irian Barat ke
pangkuan Indonesia, serta menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Hasil : -
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
·
Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga
barang-barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat.
·
Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang
banyak terlebih setelah terjadi penurunana hasil panen sehingga membutuhkan
biaya besar untuk mengimport beras.
·
Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam
keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi
dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.
·
Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Merupakan upaya
pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak
senang dikalangan partai politik sebab dipandang akan membahayakan
kedudukannya. Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya masalah intern dalam TNI
sendiri yang berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H Nasution yang ditentang oleh
Kolonel Bambang Supeno sehingga ia mengirim petisi mengenai penggantian KSAD
kepada menteri pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan parlemen sehingga menimbulkan
perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang
menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam memulihkan keamanana di
Sulawesi Selatan.
Keadaan ini menyebabkan muncul
demonstrasi di berbagai daerah menuntut dibubarkannya parlemen. Sementara itu
TNI-AD yang dipimpin Nasution menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen
dibubarkan. Tetapi saran tersebut ditolak.
Muncullah
mosi tidak percaya dan menuntut diadakan reformasi dan reorganisasi angkatan
perang dan mengecam kebijakan KSAD.
Inti
peristiwa ini adalah gerakan sejumlah perwira angkatan darat guna menekan
Sukarno agar membubarkan kabinet.
·
Munculnya peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan
tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Sesuai dengan perjanjian KMB
pemerintah mengizinkan pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan memiliki
tanah-tanah perkebunan. Tanah perkebunan di Deli yang telah ditinggalkan
pemiliknya selama masa Jepang telah digarap oleh para petani di Sumatera Utara
dan dianggap miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953 muncullah aksi
kekerasan untuk mengusir para petani liar Indonesia yang dianggap telah
mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani tidak mau pergi sebab telah
dihasut oleh PKI. Akibatnya terjadi bentrokan senjata dan beberapa petani
terbunuh.
Intinya
peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian
dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur
(Deli).
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Akibat peristiwa Tanjung Morawa
muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet
Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden.
KABINET ALI SASTROAMIJOYO I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
Kabinet ini merupakan koalisi antara
PNI dan NU.
Dipimpin Oleh : Mr. Ali Sastroamijoyo
Program :
1. Meningkatkan keamanan dan
kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu.
2. Pembebasan Irian Barat
secepatnya.
3. Pelaksanaan politik bebas-aktif
dan peninjauan kembali persetujuan KMB.
4. Penyelesaian Pertikaian politik
Hasil
:
·
Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen yang akan
diselenggarakan pada 29 September 1955.
·
Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
Kendala/ Masalah yang dihadapi
:
·
Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat
terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
·
Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa yang
menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD yang merupakan
kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang Sugeng sebagai Kepala Staf
AD mengajukan permohonan berhenti dan disetujui oleh kabinet. Sebagai gantinya
mentri pertahanan menunjuk Kolonel Bambang Utoyo tetapi panglima AD menolak
pemimpin baru tersebut karena proses pengangkatannya dianggap tidak
menghiraukan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI-AD. Bahkan ketika
terjadi upacara pelantikan pada 27 Juni 1955 tidak seorangpun panglima tinggi
yang hadir meskipun mereka berada di Jakarta. Wakil KSAD-pun menolak melakukan
serah terima dengan KSAD baru.
·
Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi
yang menunjukkan gejala membahayakan.
·
Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
·
Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan, NU memutuskan
untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti
oleh partai lainnya.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Nu menarik dukungan dan
menterinya dari kabinet sehingga keretakan dalam kabinetnya inilah yang memaksa
Ali harus mengembalikan mandatnya pada presiden.
KABINET BURHANUDDIN HARAHAP (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Dipimpin Oleh : Burhanuddin Harahap
Program
:
1. Mengembalikan kewibawaan
pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat
kepada pemerintah.
2.
Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan
mempercepat terbentuknya parlemen baru
3.
Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi
4.
Perjuangan pengembalian Irian Barat
5.
Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas
aktif.
Hasil
:
·
Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis pada 29 September 1955
(memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih konstituante). Terdapat 70
partai politik yang mendaftar tetapi hanya 27 partai yang lolos seleksi.
Menghasilkan 4 partai politik besar yang memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI,
NU, Masyumi, dan PKI.
·
Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat dengan pembubaran
Uni Indonesia-Belanda.
·
Pemberantasan korupsi dengan menangkap para pejabat tinggi yang
dilakukan oleh polisi militer.
·
Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet Burhanuddin.
·
Menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955 dengan mengangkat Kolonel
AH Nasution sebagai Staf Angkatan Darat pada 28 Oktober 1955.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
Banyaknya mutasi dalam lingkungan
pemerintahan dianggap menimbulkan ketidaktenangan.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Dengan berakhirnya pemilu maka
tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu tidak menghasilkan dukungan
yang cukup terhadap kabinet sehingga kabinetpun jatuh. Akan dibentuk kabinet
baru yang harus bertanggungjawab pada parlemen yang baru pula.
KABINET ALI SASTROAMIJOYO II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Kabinet ini merupakan hasil
koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
Dipimpin Oleh : Ali Sastroamijoyo
Program :
Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang
memuat program jangka panjang, sebagai berikut.
1. Perjuangan pengembalian Irian
Barat
2. Pembentukan daerah-daerah otonomi
dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.
3. Mengusahakan perbaikan nasib kaum
buruh dan pegawai.
4. Menyehatkan perimbangan keuangan
negara.
5. Mewujudkan perubahan ekonomi
kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
Selain itu program pokoknya
adalah,
·
Pembatalan KMB,
·
Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan
politik luar negeri bebas aktif,
·
Melaksanakan keputusan KAA.
Hasil
:
Mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak
dari periode planning and investment, hasilnya adalah Pembatalan
seluruh perjanjian KMB.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
·
Berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat.
·
Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah
pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer
seperti Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan
Garuda di Sumatra Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan
Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
·
Memuncaknya krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap
mengabaikan pembangunan di daerahnya.
·
Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai
nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha Belanda yang
menjual perusahaannya pada orang Cina karena memang merekalah yang kuat
ekonominya. Muncullah peraturan yang dapat melindungi pengusaha nasional.
·
Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar
Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya sesuai tuntutan daerah, sedangkan PNI
berpendapat bahwa mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas demokrasi dan
parlementer.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Mundurnya sejumlah menteri dari
Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada
presiden.
KABINET DJUANDA ( 9 April 1957- 5 Juli
1959)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu
kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya. Dibentuk karena
Kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950.
Serta terjadinya perebutan kekuasaan antara partai politik.
Dipimpin Oleh : Ir. Juanda
Program :
Programnya disebut Panca Karya sehingga sering juga
disebut sebagai Kabinet Karya, programnya yaitu :
·
Membentuk Dewan Nasional
·
Normalisasi keadaan Republik Indonesia
·
Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB
·
Perjuangan pengembalian Irian Jaya
·
Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan
Semua itu dilakukan untuk
menghadapi pergolakan yang terjadi di daerah, perjuangan pengembalian Irian
Barat, menghadapi masalah ekonomi serta keuangan yang sangat buruk.
Hasil
:
·
Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi
Djuanda, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut teritorial. Melalui
deklarasi ini menunjukkan telah terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia dimana
lautan dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat.
·
Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang
bertujuan menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam
masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk
menegakkan sistem demokrasi terpimpin.
·
Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan
pergolakan di berbagai daerah. Musyawarah ini membahas masalah pembangunan
nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah RI.
·
Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis
dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
-
Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah semakin
meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat.
Munculnya pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
-
Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah
sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya.
- Terjadi peristiwa
Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di
depan Perguruan Cikini saat sedang menghadir pesta sekolah tempat putra-purinya
bersekolah pada tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini menyebabkan keadaan
negara semakin memburuk karena mengancam kesatuan negara.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Berakhir saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959
dan mulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin.
Silih bergantinya kabinet dalam waktu yang
relatif singkat menyebabkan ketidakpuasan pemerintahan daerah. Karena
pemerintahan pusat sibuk dengan pergantian kabinet, daerah kurang mendapat
perhatian. Tuntutan-tuntutan dari daerah ke pusat sering tidak dikabulkan.
Situasi semacam ini menyebabkan kekecewaan dan ketidakpuasan daerah terhadap
pusat. Situasi ini menyebabkan munculnya gejala provinsialisme atau sifat kedaerahan.
Gejala tersebut dapat mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa. Gejala provinsialisme akhirnya berkembang ke separatisme atau usaha memisahkan diri dari
pusat. Gejala tersebut terwujud dalam berbagai macam pemberontakan, misalnya
PRRI atau Permesta. Ketidakstabilan politik pada waktu itu juga disebabkan oleh
adanya pertentangan di antara para politisi dan TNI Angkatan Darat. Hal ini
tampak dalam peristiwa 17 Oktober 1952. Pada tanggal 17 Oktober 1952, pimpinan
TNI Angkatan Darat dan Kepala Staf Angkatan Perang menghadap Presiden. Mereka
meminta pemerintah membubarkan parlemen dan membentuk parlemen baru. Menurut
pihak TNI AD, parlemen telah mencoba mencampuri urusan intern TNI AD.
Bersamaan dengan itu juga terjadi demonstrasi
di luar istana yang menuntut pembubaran parlemen. Demonstrasi semacam itu tidak
hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di Bandung. Ketidakstabilan politik dalam
negeri sangat mengganggu kehidupan bidang-bidang ekonomi, pendidikan, sosial, dan
budaya. Oleh karena itu, masa pembangunan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan rakyat dengan kondisi politik yang stabil dan mantap mutlak
diperlukan.
v Pemilu I
Pemilihan
Umum (Pemilu) sudah direncanakan oleh pemerintah, tetapi program ini tidak segera
terwujud. Karena usia kabinet pada waktu itu relatif singkat,
persiapan-persiapan secara intensif untuk program tersebut tidak dapat
dilaksanakan. Pemilu merupakan wujud nyata pelaksanaan demokrasi. Pemilu I di
Indonesia dilaksanakan pada masa kabinet Burhanudin Harahap. Pemilu I yang
diselenggarakan pada tahun 1955 dilaksanakan dua kali, yaitu:
·
tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
atau Parlemen,
·
tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Dewan Konstituante (Dewan
Pembentuk Undang-Undang Dasar).
Secara
serentak dan tertib seluruh warga negara yang mempunyai hak memilih mendatangi
tempat pemungutan suara untuk menentukan pilihannya. Pemilu berjalan lancar dan
tertib. Empat partai yang muncul sebagai pemenang dalam Pemilu pertama adalah:
Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdatul Ulama (NU), dan Partai
Komunis Indonesia (PKI).
Kabinet yang terbentuk setelah Pemilu I adalah Kabinet Ali
Sastroamijoyo II (Maret 1956). Kabinet baru ini mendapat tantangan
dari berbagai pihak, misalnya dari PKI dan PSI. Kabinet Ali ini mendapat
kepercayaan penuh dari Presiden Soekarno. Hal ini sangat kentara dari pidatonya
di depan Parlemen pada tanggal 26 Maret 1956, yang menyebut cabinet ini sebagai
titik tolak dari periode planning dan investement.
Kabinet Ali Sastroamijoyo II ini pun tidak lama, kemudian jatuh. Beberapa
kesulitan yang dihadapi, misalnya berkobarnya semangat anti Cina dan adanya
kekacauan di daerah-daerah. Pengganti Kabinet Ali adalah Kabinet
Juanda atau Kabinet Karya. Kabinet Juanda pun tidak
mampu meredakan ‘suhu’ politik pada masa itu yang semakin memanas. Suhu politik
yang terus memanas tersebut antara lain disebabkan oleh perselisihan
antarpartai dan gejolak-gejolak yang terjadi di berbagai daerah. Situasi politik
semakin tidak stabil setelah Konstituante tidak mampu atau gagal menunaikan
tugas yang diembannya. Konstituante gagal merumuskan Undang-Undang Dasar baru.
Menurut Presiden Soekarno, ketidakstabilan politik dan kesulitan-kesulitan yang
dihadapi negara pada waktu itu disebabkan oleh adanya banyak partai. Oleh
karena itu, demi keselamatan negara, Presiden Soekarno mengajukan konsepsi
baru, yaitu demokrasi terpimpin. Konsepsi ini diajukan oleh
Presiden Soekarno di hadapan para pemimpin partai dan tokoh masyarakat di
Istana Merdeka pada tanggal 21 Februari 1957. Konsepsi ini mendapat reaksi
keras dari berbagai pihak. Akibatnya, muncul berbagai macam gerakan separatis,
misalnya, Dewan Banteng (Sumatera Tengah), Dewan Garuda (Sumatera Selatan), dan
Dewan Manguni (Sulawesi Utara).
Ketidakberhasilan
Konstituante dalam menjalankan tugasnya mendorong pemerintah untuk segera
bertindak agar kekacauan politik dapat segera diatasi. Presiden Soekarno
berpidato di depan konstituante pada tanggal 22 April 1959 yang isinya
menganjurkan untuk kembali kepada Undang- Undang Dasar 1945. Anjuran ini
rupanya merupakan pemenuhan kehendak rakyat, yang telah disampaikan kepada
pemerintah. Anjuran ini kemudian diwujudkan dalam Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959.
v Politik luar negri bebas aktif
Sesudah
Perang Dunia II, politik dunia ditandai oleh munculnya dua kekuatan yang saling
bertentangan, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kedua kekuatan itu
mempunyai sistem politik dan bentuk pemerintah yang berbeda. Kedua kekuatan
saling bertentangan dan berlomba menyusun dan mengembangkan kekuatan secara
politis maupun militer. Situasi pertentangan ini disebut perang dingin.
Masing-masing pihak menuntut supaya semua negara di dunia memilih salah satu
blok, Blok Barat atau Blok Timur. Republik Indonesia bukan penganut politik
luar negeri netral karena menolak untuk mengaitkan dirinya kepada negara atau
kekuatan mana pun.
Politik dan
sikap Indonesia dilandaskan kepada kemerdekaan dan bertujuan untuk memperkuat
perdamaian. Terhadap dua blok kekuatan raksasa dunia yang bertentangan itu,
Indonesia tidak mau memilih salah satu pihak. Indonesia menganut “politik bebas
aktif”. Bebas berarti Indonesia mengambil jalan sendiri dalam menghadapi masalah-masalah
internasional. Dengan aktif dimaksudkan bahwa Indonesia berusaha sekuat-kuatnya
untuk memelihara perdamaian dan meredakan pertentangan-pertentangan. Hal ini
sesuai dengan cita-cita PBB. Contoh konkret ditunjukkan oleh Perdana Menteri
Ali Sastroamidjojo yang memandang perlunya kerja sama bangsa-bangsa Asia dan
Afrika. Pada masa demokrasi liberal ini, pemerintah Indonesia berhasil
melaksanakan Konferensi Asia – Afrika di Bandung pada bulan April 1955.
Pemilu I ini
mengantar terbentuknya Dewan Konstituante. Selama kurun waktu 1956-1959 Dewan
Konstituante belum berhasil merumuskan Undang-Undang Dasar yang baru. Situasi
politik Indonesia dalam rentang waktu tersebut semakin tidak menentu.
Partai-partai pemenang pemilu tahun 1955 tidak mampu menyelesaikan
persoalanpersoalan politik dalam negeri yang semakin memanas. Kehidupan politik
semakin memburuk dengan munculnya gejala separatisme. Di daerah-daerah muncul
sistem pemerintahan sendiri yang tidak mengakui pemerintah pusat, misalnya PRRI
dan Permesta.
Ketidakberhasilan
Konstituante menyusun undang- undang dasar baru dan kehidupan politik yang
tidak stabil menimbulkan ‘frustrasi’ bagi masyarakat Indonesia. Dalam situasi
semacam ini, rakyat berharap pemerintah meninjau kembali cara kerja Dewan
Konstituante. Rakyat menginginkan adanya keputusan yang bijaksana dan tepat,
sehingga kemacetan dalam sidang dapat teratasi.
v
Kemacetan Konstituante
Di tengah-tengah frustrasi nasional yang
terus meningkat itu, pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno berpidato di depan sidang
Konstituante. Presiden Soekarno antara lain menganjurkan agar dalam rangka
demokrasi terpimpin, Konstituante menetapkan UUD 1945 menjadi UUD Republik
Indonesia. Konstituante kemudian mengadakan siding untuk membahas usulan
tersebut.
Untuk mengatasi gerakan ini, TNI melancarkan
operasi gabungan AD, AL, dan AU dikenal dengan nama Operasi 17
Agustus. Operasi
ini dipimpin oleh Kolonel Akhmad Yani. Di
Sumatera Utara, Operasi Sapta Marga dilaksanakan di bawah pimpinan Brigadir Jenderal
Jatikusumo. Di Sumatera Selatan, Operasi
Sadardipimpin Letnan Kolonel Dr. Ibnu Sutowo.
Tujuan operasi militer ini adalah menghancurkan kekuatan pemberontak dan
mencegah campur tangan asing. Berangsur-angsur wilayah pemberontak dapat
dikuasai. Pada tanggal 29 Mei 1958, Achmad Husein dan pasukannya secara resmi
menyerah. Penyerahan diri itu disusul para tokoh PRRI lainnya.
Pada tanggal 29 Mei 1959 diadakan pemungutan
suara untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pemungutan suara tidak memenuhi
kuorum. Banyak anggota Dewan Konstituante yang tidak hadir. Kemudian diadakan
pemungutan suara yang kedua pada tanggal 2 Juni 1959. Pemungutan suara kedua
juga tidak memenuhi kuorum. Dengan demikian, terjadi lagi kemacetan dalam
Konstituante. Kegagalan yang kedua ini tidak ditanggapi dengan pemungutan suara
yang ketiga. Akan tetapi, para anggota dewan mengadakan reses atau istirahat bersidang mulai
tanggal 3 Juni 1959. Ternyata reses ini tidak hanya sementara waktu tetapi
untuk selamanya. Artinya, Dewan Konstituante membu-barkan diri.
v
Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Untuk menanggulangi hal-hal yang dapat membahayakan negara, Letjen
A. H Nasution, selaku Kepala Staf Angkatan Darat, mengeluarkan larangan
bagi semua kegiatan politik terhitung sejak tanggal 3 Juni 1959. Partai
Nasional Indonesia melalui ketuanya, Soewirjo, mengirim surat
kepada Presiden Soekarno, yang waktu itu berada di Jepang. Surat itu berisi
anjuran agar presiden mendekritkan kembali berlakunya UUD 1945 dan membubarkan
Konstituante. Partai Komunis Indonesia melalui ketuanya, Aidit,
memerintahkan segenap anggotanya untuk tidak menghadiri sidang-sidang, kecuali
siding Konstituante. Kehidupan politik semakin buruk dan mengancam persatuan
dan kesatuan bangsa. Di daerahdaerah terjadi pemberontakan merebut kekuasaan.
Partai-partai yang mempunyai kekuasaan tidak mampu menyelesaikan persoalan.
Soekarno dan TNI tampil untuk mengatasi krisis yang sedang melanda Indonesia
dengan mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945. Pertimbangan
dikeluarkannya dekrit Presiden adalah sebagai berikut.
·
Anjuran untuk kembali kepada UUD 1945 tidak memperoleh keputusan dari
Konstituante.
·
Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugasnya karena sebagian
besar anggotanya telah menolak menghadiri sidang.
·
Kemelut dalam Konstituante membahayakan persatuan, mengancam keselamatan
negara, dan merintangi pembangunan nasional.
Oleh karena
itu, Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan keputusan
(dekrit). Keputusan itu dikenal dengan nama “Dekrit Presiden 5 Juli 1959”. Isi
dekrit ini adalah sebagai berikut.
·
Pembubaran Konstituante.
·
Berlakunya UUD 1945.
·
Akan dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan
Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Secara lengkap bunyi Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 sebagai berikut.
DEKRIT
KEMBALI KEPADA UUD 1945
KAMI
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG
Dengan ini
menyatakan dengan khidmat:
Bahwa
anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945,
yang disampaikan kepada segenap
rakyat
Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh
keputusan dari Konstituante
sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara.
Bahwa
berhubung dengan pernyataan sebagian terbesar Anggota-Anggota Sidang Pembuat
Undang-Undang Dasar untuk
tidak
menghadiri sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang
dipercayakan oleh rakyat kepadanya.
Bahwa hal
yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan
dan keselamatan Negara,
Nusa dan
Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang
adil dan makmur.
Bahwa dengan
dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami
sendiri, kami terpaksa menempuh
satu-satunya
jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi.
Bahwa kami
berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai
Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah
merupakan
suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.
Maka atas
dasar-dasar tersebut di atas,
KAMI
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/ PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG:
Menetapkan
pembubaran Konstituante:
Menetapkan
Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia,
terhitung
mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi
Undang-Undang Dasar Sementara.
Pembentukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas Anggota-anggota
Dewan Perwakilan Rakyat
ditambah
dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, serta
pembentukan Dewan Pertimbangan
Agung
Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Ditetapkan
di Jakarta
Pada tanggal
5 Juli 1959
Atas nama
rakyat Indonesia
Presiden
Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang
SOEKARNO
EKONOMI
Meskipun Indonesia telah merdeka tetapi Kondisi Ekonomi
Indonesia masih sangat buruk. Upaya untuk mengubah stuktur ekonomi kolonial ke
ekonomi nasional yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia berjalan
tersendat-sendat.
Faktor
yang menyebabkan keadaan ekonomi tersendat adalah sebagai berikut.
1. Setelah
pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, bangsa
Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan seperti yang telah ditetapkan
dalam KMB. Beban tersebut berupa hutang luar negeri sebesar 1,5 Triliun rupiah
dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 Triliun rupiah.
2. Defisit
yang harus ditanggung oleh Pemerintah pada waktu itu sebesar 5,1 Miliar.
3. Indonesia
hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi yaitu pertanian dan
perkebunan sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor itu berkurang akan
memukul perekonomian Indonesia.
4. Politik
keuangan Pemerintah Indonesia tidak di buat di Indonesia melainkan dirancang
oleh Belanda.
5. Pemerintah
Belanda tidak mewarisi nilai-nilai yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi
kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
6. Belum
memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik, belum memiliki tenaga
ahli dan dana yang diperlukan secara memadai.
7. Situasi
keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan berhubung banyaknya
pemberontakan dan gerakan sparatisisme di berbagai daerah di wilayah Indonesia.
8. Tidak
stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah
untuk operasi-operasi keamanan semakin meningkat.
9. Kabinet
terlalu sering berganti menyebabakan program-program kabinet yang telah
direncanakan tidak dapat dilaksanakan, sementara program baru mulai dirancang.
10. Angka
pertumbuhan jumlah penduduk yang besar.
Masalah
jangka pendek yang harus dihadapi pemerintah adalah :
1.
Mengurangi jumlah uang yang beredar
2.
Mengatasi Kenaikan biaya hidup.
Sementara
masalah jangka panjang yang harus dihadapi adalah :
·
Pertambahan penduduk dan tingkat kesejahteraan penduduk
yang rendah.
Kebijakan
pemerintah untuk mengatasi masalah ekonomi liberal di Indonesia
Kehidupan
ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil dengan baik dan tantangan
yang menghadangnya cukup berat. Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi
ekonomi adalah sebagai berikut.
1. Gunting Syafruddin
Kebijakan ini adalah Pemotongan
nilai uang (sanering). Caranya memotong semua uang yang
bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya.
Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara
pada masa pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950
berdasarkan SK Menteri Nomor 1 PU tanggal 19 Maret 1950
Tujuannya untuk menanggulangi defisit
anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.
Dampaknya rakyat kecil tidak
dirugikan karena yang memiliki uang Rp. 2,50 ke atas hanya orang-orang kelas
menengah dan kelas atas. Dengan kebijakan ini dapat mengurangi jumlah uang yang
beredar dan pemerintah mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan
mendapat pinjaman sebesar Rp. 200 juta.
2. Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik
Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan
pada masa Kabinet Natsir yang direncanakan oleh Sumitro Joyohadikusumo (menteri
perdagangan). Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial
menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia).
Programnya :
·
Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
·
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan
untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
·
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan
diberikan bantuan kredit.
·
Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang
menjadi maju.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program
Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953)
lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari
program ini. Tetapi tujuan program ini tidak dapat tercapai dengan baik
meskipun beban keuangan pemerintah semakin besar. Kegagalan program ini
disebabkan karena :
1. Para pengusaha pribumi tidak
dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi
liberal.
2. Para pengusaha pribumi memiliki
mentalitas yang cenderung konsumtif.
3. Para pengusaha pribumi sangat
tergantung pada pemerintah.
4. Para pengusaha kurang mandiri
untuk mengembangkan usahanya.
5. Para pengusaha ingin cepat
mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah.
6. Para pengusaha menyalahgunakan
kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka
peroleh.
Dampaknya
program ini menjadi salah satu sumber defisit keuangan. Beban defisit anggaran
Belanja pada 1952 sebanyak 3 Miliar rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun
sebelumnya sebesar 1,7 miliar rupiah. Sehingga menteri keuangan Jusuf Wibisono
memberikan bantuan kredit khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari
golongan ekonomi lemah sehingga masih terdapat para pengusaha pribumi sebagai
produsen yang dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.
3. Nasionalisasi De Javasche Bank
Seiring meningkatnya rasa nasionalisme maka pada
akhir tahun 1951 pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De
Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan bahwa
mengenai pemberian kredi tharus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal
ini menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter.
Tujuannya adalah untuk menaikkan
pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta melakukan penghematan secara
drastis.
Perubahan mengenai nasionalisasi De Javasche Bank menjadi
Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank sirkulasi diumumkan pada tanggal
15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang No. 24 tahun 1951.
4. Sistem Ekonomi Ali-Baba
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq
Tjokrohadisurjo (mentri perekonomian kabinet Ali I). Tujuan dari
program ini adalah
·
Untuk memajukan pengusaha pribumi.
·
Agar para pengusaha pribumi Bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
·
Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam
rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
·
Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha
pribumi dan non pribumi.
Ali digambarkan sebagai
pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan
sebagai pengusahanon pribumi khususnya Cina.
Pelaksanaan kebijakan Ali-Baba,
1. Pengusaha pribumi diwajibkan
untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa
Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf.
2. Pemerintah menyediakan kredit dan
lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional
3. Pemerintah memberikan
perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada.
Program ini tidak dapat berjalan dengan baik sebab:
·
Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk
mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi
lebih berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
·
Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan
bebas.
·
Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.
5. Persaingan Finansial Ekonomi (Finek)
Pada masa Kabinet Burhanudin Harahap dikirim
delegasi ke Jenewa untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak
Indonesia dengan pihak Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung.
Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuanFinek,
yang berisi :
·
Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
·
Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
·
Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh
diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Hasilnya
pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia mengambil
langkah secara sepihak. Tanggal 13 Februari1956, Kabinet Burhanuddin Harahap
melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak.
Tujuannya untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi
dengan Belanda. Sehingga, tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden Sukarno
menandatangani undang-undang pembatalan KMB.
Dampaknya :
Banyak
pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi belum
mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.
6. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Masa kerja
kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti
menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya
kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan.
Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program
jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan
membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang
Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka
panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini
berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan
dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November
1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional
Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.
RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan
karena :
·
Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir
tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara
merosot.
·
Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
·
Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang
melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
7. Musyawarah Nasional Pembangunan
Masa kabinet Juanda terjadi ketegangan hubungan
antara pusat dan daerah. Masalah tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi
dengan Musayawaraah Nasional Pembangunan (Munap).Tujuan diadakan
Munap adalah untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana
pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Tetapi tetap saja rencana
pembangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena :
1. Adanya kesulitan dalam menentukan
skala prioritas.
2. Terjadi ketegangan politik yang
tak dapat diredakan.
3. Timbul pemberontakan
PRRI/Permesta.
4. Membutuhkan biaya besar untuk
menumpas pemberontakan PRRI/ Permesta sehingga meningkatkan defisit Indonesia.
5. Memuncaknya ketegangan politik
Indonesia- Belanda menyangkut masalah Irian Barat mencapai konfrontasi
bersenjata.
KEAMANAN
Menjelang
bergabungnya RIS dan RI menjadi negara kesatuan, terjadi beberapa pemberontakan
di berbagai daerah. Latar belakang pemberontakan adalah ketidakpuasan terhadap
pembentukan RIS, reaksi terhadap pembubaran RIS, dan ketegangan antara
pemerintah pusat dan daerah. Pemberontakan tersebut didalangi oleh Belanda
dibantu oleh orang-orang Indonesia yang menjadi kaki tangan Belanda dan
gerombolan tertentu. Mereka ingin merongrong persatuan dan kesatuan Indonesia.
Gangguan keamanan tersebut terwujud dalam berbagai macam bentuk aksi atau
pemberontakan, antara lain: APRA, pemberontakan Andi Azis, RMS, PRRI, dan
Permesta.
1.
Pemberontakan APRA
Pembentukan
APRIS menimbulkan ketegangan yang berujung pada pertumpahan darah. Di kalangan
TNI ada keengganan untuk bekerja sama dengan tentara bekas KNIL. Pihak KNIL
juga menuntut agar bekas kesatuan KNIL ditetapkan sebagai alat negara bagian.
Ketegangan itu ditambah pertentangan politik antara kelompok yang ingin mempertahankan
bentuk negara bagian dan kelompok yang menginginkan negara kesatuan. Di
Bandung, gerakan yang menamakan diri sebagai “Angkatan Perang Ratu Adil”
memberikan ultimatum kepada pemerintah RIS dan Negara Pasundan untuk diakui
sebagai Tentara Pasundan. Mereka juga menolak rencana penggabungan Negara
Pasundan dengan Republik Indonesia. Ultimatum itu tidak ditanggapi pemerintah
RIS.
Pada pagi hari tanggal 23 Januari 1950, gerombolan APRA menyerang kota
Bandung. Pemimpin gerombolan ini adalah Kapten Raymond Westerling.
Kapten Westerling ini pada bulan Desember 1946 memimpin pembunuhan massal
terhadap rakyat Sulawesi Selatan. Anggota APRA terdiri dari bekas KNIL, pasukan
payung, dan polisi Belanda. Mereka membunuh setiap anggota TNI yang mereka
temui. Untuk menghadapi gerombolan APRA, pemerintah RIS mengirimkan pasukan
dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada tanggal 23 Januari 1950 itu juga
gerombolan APRA mundur dari Bandung. Dalam suatu pertempuran di daerah Pacet
(24 Januari 1950), pasukan TNI dapat menghancurkan sisa-sisa gerombolan APRA.
Di Bandung diadakan pembersihan. Mereka yang terlibat gerakan APRA ditangkap,
termasuk beberapa tokoh Negara Pasundan. Westerling sendiri melarikan diri ke
Jakarta. Di Jakarta, Westerling berencana menangkap Sri Sultan Hamengkubuwono
IX (menteri pertahanan), Mr. A. Budiardjo, Kolonel TB. Simatupang. Rencana itu
dapat digagalkan. Ternyata tokoh di balik rencana itu adalah Sultan Hamid II.
Oleh karena itu, Sultan Hamid II kemudian ditangkap. Sementara itu, Westerling
kabur ke luar negeri.
2.
Pemberontakan Andi Aziz
Andi Azis adalah Letnan Ajudan Wali Negara Negara Indonesia Timur. Pada tanggal 30
Maret 1950, bersama dengan satu kompi anak buahnya diterima ke dalam APRIS. Ia
diangkat sebagai komandan kompi dengan pangkat Kapten. Beberapa hari setelah
pelantikan, Andi Azis bersama pasukannya dan didukung Batalyon KNIL yang tidak
masuk APRIS mengadakan pemberontakan. Latar belakang dari pemberontakan ini
adalah sikap Andi Azis yang menolak masuknya pasukanpasukan APRIS dari TNI ke Sulawesi
Selatan. Andi Azis menuntut agar pasukan APRIS bekas KNIL saja yang bertanggung
jawab atas keamanan di daerah NIT. Ia menentang dan menghalangi masuknya
pasukan APRIS dari TNI dari Jawa yang dipimpin Mayor Worang. Ia
juga menyatakan bahwa Negara Indonesia Timur harus tetap dipertahankan. Bersama
pasukan yang dipimpinnya, Andi Azis menawan Letkol Achmad Yusuf Mokoginta
(Pejabat Panglima Teritorium Indonesia Timur) beserta seluruh stafnya.
3.
Pemberontakan RMS
Mr. Dr. Christian Robert Steven Soumokil yang pada waktu itu menjabat
sebagai jaksa agung Negara Indonesia Timur diam-diam pergi ke Ambon setelah
gagal mendalangi pemberontakan Andi Azis. Di Ambon, ia berhasil mempengaruhi
anggota- anggota KNIL untuk membentuk Republik Maluku Selatan (RMS). Pada
tanggal 25 April 1950 diproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS)
lepas dari Negara Indonesia Timur dan RIS. Soumokil berhasil memindahkan
pasukan KNIL dan pasukan Baret Hijau yang ikut dalam pemberontakan Andi Azis ke
Ambon. Pasukan inilah yang menjadi tulang punggung RMS.
Pada awalnya, pemerintah ingin menyelesaikan masalah RMS secara damai.
Pemerintah mengirimkan misi damai yang dipimpin Dr. Leimena. Namun, upaya damai
ini gagal. Pemerintah kemudian mengirim pasukan untuk menumpas gerombolan
tersebut pada tanggal 14 Juli 1950. Setelah sekitar 6 bulan, seluruh Maluku
Tengah dapat direbut. Akhirnya, anggota gerombolan itu melarikan diri ke
hutan-hutan dan gunung-gunung. Soumokil sendiri juga melarikan diri. Pada bulan
November 1950, kota Ambon dapat dikuasai pasukan APRIS. Dalam perebutan benteng
Victoria, Letkol Slamet Riyadi gugur. Pada Tanggal 2 Desember
1963, Soumokil tertangkap. Ia diajukan ke Mahmilub, kemudian dijatuhi hukuman
mati.
4.
Pemberontakan PRRI
Pemberontakan
PRRI dan Permesta berhubungan satu sama lain. Pemberontakan PRRI dan Permesta
terjadi di tengah-tengah situasi politik yang sedang bergolak, pemerintahan
yang tidak stabil, masalah korupsi, perdebatan-perdebatan dalam konstituante.
Penyebab langsung terjadinya pemberontakan adalah pertentangan antara
pemerintah pusat dan beberapa daerah mengenai otonomi serta perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah. Semakin lama pertentangan itu semakin
meruncing. Sikap tidak puas tersebut didukung oleh sejumlah panglima angkatan
bersenjata. Pada tanggal 9 Januari 1958, diadakan suatu pertemuan di Sungai
Dareh, Sumatera Barat. Pertemuan itu dihadiri tokoh-tokoh militer dan sipil.
Tokoh-tokoh militer yang hadir, antara lain: Letkol Achmad Husein, Letkol
Sumual, Kolonel Simbolon, Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel Zulkifli Lubis.
Tokoh-tokoh sipil yang hadir antara lain: M. Natsir, Sjarif Usman, Burhanuddin
Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara. Dalam pertemuan tersebut dibicarakan
masalah pembentukan pemerintah baru dan hal-hal yang berhubungan dengan
pemerintah baru itu.
Atas kejadian tersebut, pemerintah kemudian memanggil Andi Azis ke
Jakarta untuk menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi. Akan tetapi,
panggilan tersebut tidak diindahkan Andi Azis. Tindakan Andi Azis yang tidak
segera datang ke Jakarta sampai batas waktu yang ditentukan dianggap sebagai
pembangkangan terhadap pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah pusat mengirim
pasukan untuk menangkap Andi Azis. Pasukan itu dipimpin Kolonel A.E.
Kawilarang. Akhirnya, pada bulan April 1950 Andi Azis
menyerahkan diri kepada pemerintah RIS. Ia diadili di Yogyakarta. Dalam waktu
singkat pemberontakan ini dapat ditumpas oleh tentara Indonesia.
Pada tanggal 10 Februari 1958 diadakan rapat raksasa di Padang. Letkol
Achmad Husein member ultimatum kepada pemerintah pusat yang isinya
sebagai berikut.
·
Dalam waktu 5 x 24 jam Kabinet Djuanda menyerahkan mandat kepada
Presiden atau Presiden mencabut mandat Kabinet Djuanda.
·
Meminta Presiden menugaskan Drs. Moh. Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX
untuk membentuk kabinet baru.
·
Meminta kepada Presiden supaya kembali kepada kedudukannya sebagai
Presiden konstitusional.
Ultimatum
tersebut ditolak. Letkol Achmad Husein, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dachlan
Djambek, dan Kolonel Simbolon dipecat. Pada tanggal 15 Februari 1958, Achmad
Husein memproklamirkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI). Proklamasi itu diikuti dengan pembentukan kabinet. Kabinet itu dipimpin
oleh Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri. Pusat PRRI berkedudukan
di Padang. Dengan proklamasi itu, PRRI memisahkan diri dari pemerintah pusat.
Proklamasi PRRI diikuti Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah.
5.
Pemberontakan Permesta
Para tokoh militer di Sulawesi mendukung PRRI di Sumatera. Pada tanggal
17 Februari 1958, Letkol D.J. Somba (Komandan
Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah) memutuskan hubungan dengan pemerintah
pusat dan mendukung PRRI. Para tokoh militer di Sulawesi memproklamasikan
Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Pelopor Permesta adalah Letkol
Vence Sumual. Pemberontak Permesta menguasai daerah Sulawesi Tengah dan
Sulawesi Utara.
Untuk menghancurkan gerakan ini pemerintah membentuk Komando
Operasi Merdeka. Misi ini dipimpin oleh Letkol Rukminto
Hendraningrat. Pada bulan April 1958, Operasi Merdeka segera dilancarkan ke
Sulawesi Utara. Ternyata dalam petualangannya, Permesta mendapat bantuan dari
pihak asing. Hal ini terbukti saat ditembak jatuhnya sebuah pesawat pada
tanggal 18 Mei 1958 di atas Ambon. Ternyata pesawat itu dikemudikan A.
L. Pope seorang warga negara Amerika Serikat.
Di bulan
Agustus 1958 pemberontakan Permesta dapat dilumpuhkan walaupun sisa-sisanya
masih ada sampai tahun 1961. Pemerintah member kesempatan kepada pengikut
PRRI/Permesta untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
A. Pemberontakan Kahar Muzakar
Kahar
Muzakar adalah putra Sulawesi yang pada zaman perang kemerdekaan berjuang di
Jawa. Setelah kembali ke Sulawesi bergabung dengan Komando Gerilya Sulawesi
Selatan (KGSS) dan pada tahun 1950 menuntut agar pasukannya masuk APRIS.
Tuntutannya ditolak tetapi kepada anggotanya yang memenuhi syarat diperbolehkan
masuk, sedangkan sisanya dimasukkan ke dalam Corps Cadangan Nasional. Kahar
akan diberikan pangkat letkol, tetapi saat pelantikan, tanggal 17 Agustus 1951,
ia bersama anak buahnya melarikan diri ke hutan dan mengacau. Januari 1952
menyatakan diri ikut sebagai bagian anggota Kartosuwiryo. Selama empat belas tahun
memberontak, namun akhirnya berhasi dilumpuhkan setelah salah seorang anak
buahnya, yaitu Bahar Matiliu menyerahkan diri. Ia berhasil ditembak oleh
pasukan Divisi Siliwangi pada bulan Februari 1965.
B. Pemberontakan di Jawa Tengah
Pengaruh
DI meluas di Jawa Tengah, yaitu di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan yang
dihadapi pemerintah dengan operasi-operasi militer. Di Kebumen pemberontakan
dilakukan oleh Angkatan Umat Islam (AUI) di bawah pimpinan Kyai Somalangu, yang
setelah intinya dapat ditumpas, sisanya bergabung dengan DI/TII. Di lingkungan Angkatan
Darat juga terjadi perembesan pemberontakan ini, sehingga Batalyon 426 di Kudus
dan Magelang juga memberontak dan bergabung dengan DI/TII (Desember 1951).
Sebagian dari mereka mengadakan gerilya di Merbabu-Merapi Complex (MMC). Untuk
menghadapi mereka, pemerintah membentuk pasukan khusus yang diberi namaBanteng
Raiders. Juni 1954 kekuatan mereka bisa dipatahkan.
C. Pemberontakan di Aceh
Pengikut
DI di Aceh memproklamirkan daerahnya sebagai bagian dari NII pada tanggal 20
September 1953. Pemimpinnya adalah Daud Beureueh, seorang ulama dan pejuang
kemerdekaan yang pernah menjabat gubernur Militer Daerah Aceh tahun 1947. Pada
mulanya mereka dapat menguasai sebagian besar daerah Aceh termasuk kota-kotanya.
Setelah pemerintah mengadakan operasi, mereka menyingkir ke hutan. Panglima
Kodam I/Iskandar Muda, Kol. M. Jasin mengambil prakarsa mengadakan Musyawarah
Kerukunan Rakyat Aceh yang berhasil mengembalikan Daud Beureueh ke masyarakat
(Desember 1962).
D. Peristiwa 17 Oktober 1952
Peristiwa
ini bersumber pada kericuhan yang terjadi di lingkungan Angkatan Darat. Kol.
Bambang Supeno tidak menyetujui kebijaksanaan Kol. A.H. Nasution selaku KSAD.
Ia mengajukan surat kepada Mentri Pertahanan dan Presiden dengan tembusan
kepada parlemen berisi soal tersebut dan meminta agar Kol. A.H. Nasution
diganti. Manai Sophian selaku anggota parlemen mengajukan mosi agar pemerintah
segera membentuk panitia untuk mempelajari masalahnya dan mengajukan
pemecahannya. Hal ini dianggap usaha campur tangan parlemen terhadap tubuh
Angkatan Darat. Pimpinan AD mendesak kepada Presiden untuk membubarkan
Parlemen. Desakan ini jugas dilakukan oleh rakyat dengan mengadakan demonstrasi
ke gedung parlemen dan Istana Merdeka. Presiden menolak tuntutan ini dewngan
alasan tidak ingin menjadi seorang diktator, tetapi akan berusaha segera
mempercepat pemilu. Kol. A.H. Nasution akhirnya mengundurkan diri, diikuti oleh
Mayjen T.B. Simatupang. Jabatan ini akhirnya digantikan oleh Kol. Bambang
Sugeng.
E. Peristiwa 27 Juni 1955
Peristiwa
ini merupakan lanjutan peristiwa sebelumnya. Karena dianggap bahwa pemerintah
belum mampu menyelesaiakan persolan tersebut. Bambang Sugeng mengundurkan diri
dari jabatannya. Sementara belum terpilih KSAD yang baru, pimpinan KSAD
dipegang oleh Wakil KSAD yaitu Kol. Zulkifli Lubis. Kemudian pemerintah
mengangkat Kol. Bambang Utoyo sebagai KSAD yang baru, tetapi pada saat
pelantikannya, 27 Juni 1955, tidak ada satupun perwira AD yang hadir. Peristiwa
ini menyebabkan kabinet Ali-Wongso jatuh. Kemudian pada masa Kabinet Burhanudin
Harahap, bekas KSAD yang lama, yaitu Kol. A.H. Nasution, kembali diangkat
menjadi KSAD (7 November 1955). Peristiwa di Angkatan Perang yang bersifat
liberal juga terjadi pada tanggal 14 Desember 1955. Yaitu ketika Komodor Udara
Hubertus Suyono dilantik menjadi Staf Angkatan Udara di Pangkalan Udara
Cililitan (Halim Perdanakusuma), segerombolan prajurit pasukan kehormatan maju
dan menolak pelantikan tersebut. Kemudian mereka meninggalkan barisdan diikuti oleh
pasukan pembawa panji-panji Angkatan Udara, sehingga upacara batal.
F. Dewan-dewan Daerah
Diawali
dengan pembentukan Bewan Banteng oleh Kol (pensiun) Ismail Lengah di Padang (20
November 1956), dengan ketuanya Ahmad Husein, Komandan Resimen IV Tentara
Teritorium (TT) I di Padang. Mereka mengajukan tuntutan kepada pemerintah pusat
tentang otonomi daerah. Larangan KSAD agar tentara tidak berpolitik tidak
dihiraukan. Mereka malah mengambil alaih pemerintahan daerah Sumatra Tengah
dari Gubernur Ruslan Mulyodiharjo (20 Desember 1956).
Tindakan tersebut diikuti oleh daerah-daerah lain seperti pembentukan Dewan Gajah di Sumatra Utara (Kol. M. Simbolon), Dewan Garuda di Sumatra Selatan (Kol. Barlian), dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara (Letkol. H.N.V. Samual). Peristiwa-peristiwa ini dilatarbelakangi oleh karena pembangunan yang tidak merata, padahal daerah-daerah tersebut telah memberikan devisa bagi negara.
Tindakan tersebut diikuti oleh daerah-daerah lain seperti pembentukan Dewan Gajah di Sumatra Utara (Kol. M. Simbolon), Dewan Garuda di Sumatra Selatan (Kol. Barlian), dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara (Letkol. H.N.V. Samual). Peristiwa-peristiwa ini dilatarbelakangi oleh karena pembangunan yang tidak merata, padahal daerah-daerah tersebut telah memberikan devisa bagi negara.
Pemerintah
berusaha mengatasi masalah tersebut dengan mengadakan perundingan dan janji
pemerataan pembangunan. Namun usaha tersebut tidak berhasil. Akhirnya operasi
militerpun dilancarkan (17 Desember 1957).
G. Usaha Pembunuhan terhadap Kepala Negara
Rasa
tidak puas golongan ekstrim kanan memuncak dan dilampiaskan dalam bentuk usaha
pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di Perguruan Cikini Jakarta (30 November
1957). Usaha tersebut gagal, tetapi menimbulkan banyak korban. Para pelaku
dapat ditangkap, dan dijatuhi hukuman mati.
Usaha
kedua terjadi pada saat Idhul Adha di halaman Istana Jakarta. Kemudian terjadi
lagi. Pelakunya Letnan Udara II D.A. Maukar dengan mempergunakan pesawat Mig
17. Istana Merdeka dan Bogor ditembakinya dari udara (9 Maret 1960). Dilakukan
Maukar bersama kelompoknya, Manguni, dengan tujuan agar pemerintah mau
berunding dengan PRRI dan Permesta. Usaha tersebut sia-sia.
SOSIAL DAN
BUDAYA
A.
Sosial
Partai Politik menggalakkan masyarakat dengan membentuk
organisasi massa (ormas), khususnya dalam menghadapi Pemilu tahun 1955. Keadaan
sosial-ekonomi yang kian merosot menguntungkan partai-partai kiri yang tidak
duduk dalam pemerintahan karena dapat menguasai massa. PKI makin berkembang,
dalam Pemilu tahun 1955 dapat merupakan salah satu dari empat besar dan
kegiatannya ditingkatkan yang mengarah pada perebutan kekuasaan (1965).
B. Budaya
Meskipun banyak kesulitan yang dihadapi, Pemerintah dianggap
berhasil dalam bidang budaya ini. Untuk mencukupi tenaga terdidik dari
perguruan tinggi, Pemerintah membuka banyak universitas yang disebarkan di
daerah.
Prestasi lain adalah dalam bidang olah raga. Dalam perebutan Piala Thomas (Thomas Cup) Indonesia yang baru pertama kali mengikuti kejuaraan ini berhasilmemperoleh piala tersebut (Juni 1958). Selain itu juga Indonesia berhasil menyelenggarakan Konfrensi Asia-Afrika dengan sukses.
Prestasi lain adalah dalam bidang olah raga. Dalam perebutan Piala Thomas (Thomas Cup) Indonesia yang baru pertama kali mengikuti kejuaraan ini berhasilmemperoleh piala tersebut (Juni 1958). Selain itu juga Indonesia berhasil menyelenggarakan Konfrensi Asia-Afrika dengan sukses.
Karena wilayah Indonesia berupa kepualauan, maka Pemerintah
mengubah peraturan dari pemerintah kolonial Belanda, yaitu Peraturan Wilayah
Laut dan Lingkungan Maritim Tahun 1939, yang menyebutkan wilayah teritorial
Hindia-Belanda dihitung tiga mil laut diukur dari garis rendah pulau-pulau dan
bagian pulau yang merupakan wilayah daratannya. Peraturan ini dinilai sangat
merugikan bangsa Indonesia. Karena itu Pemerintah Indonesia mengeluarkan
Deklarasi 13 Desember 1957 yang juga disebut sebagai Deklarasi Juanda tentang
Wilayah Perairan Indonesia.
Indonesia juga membuat peraturan tentang landas kontinen,
yaitu peraturan tentang batas wilayah perairan yang boleh diambil kekayaannya.
Peraturan ini tertuang dalam Pengumuman Pemerintah tentang Landas Kontinen
tanggal 17 Februari 1969. Pemerintah Indonesia mengadakan perjanjian dengan
negara-negara tetangga tentang batas-batas Landas Kontinen agar kelak tidak
terjadi kesalahpahaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar